Selasa, 08 Oktober 2013

IPS

 Pendudukan Jepang ke Indonesia

Latar Belakang


         


           Pertama, Pembaharuan besar-besaran yang dilakukan Jepang semasa pemerintahan Tenno Meiji. Dengan demikian, menempatkan Jepang sebagai negara industri modern yang sejajar dengan bangsa-bangsa barat. Pembaharuan yang disebut dengan Restorasi Meiji itu membawa akibat perubahan haluan politik Jepang : dari menutup diri terhadap pengaruh asing menjadi imperialis.

          Kedua, berdasarkan kebijakan imperialis Hakko-ichi-u, Jepang bermaksud menjadikan Asia sebagai kesatuan wilayah di bawah pimpinannya. Sebagai negeri di kawasan Asia, Indonesia turut menjadi incaran pendudukan Jepang. Untuk mencapai maksudnya itu, Jepang membangun perasaan persaudaraan Asia.

        Ketiga, sebagai negara industri dan militer, Jepang amat membutuhkan bahan mentah untuk industri dan mesin perang. Dengan kekayaan SDA, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan Jepang tersebut.

         Keempat, sentimen terhadap imperialisme barat di kawasan Asia turut memicu Jepang untuk segera menduduki Indonesia yang dikuasai Belanda. Apalagi penyebab sentimen itu adalah Jepang sendiri dengan kemenangannya dalam Perang Rusia-Jepang. Dengan menguasai Asia, termasuk Indonesia, Jepang bermaksud membendung pengaruh imperialisme barat.

          Kelima, bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe Fumimaro sebagai Perdana Menteri Jepang. Meskipun terjadi pergantian perdana menteri, ambisius Jepang yang ingin membangun kekuasaan di wilayah Asia Pasifik, menjadikan negara itu terlibat langsung dalam perang dunia 2. Sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.

          Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur. Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur, tanggal 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Indonesia. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.

        Hari Minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 360 pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Pengeboman Pearl Harbor ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain itu, pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika. Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka. Namun, tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.

            Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Di Indonesia, Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.


Kedatangan Jepang di Indonesia



        Jepang melakukan penyerbuan ke Indonesia pada tanggal 1 Januari 1942. Tujuan Jepang adalah mendapatkan minyak dan karet untuk bahan penunjang perang. Oleh karena itu, Jepang melakukan pendaratan pertama di tempat – tempat yang kaya dengan bahan – bahan tersebut, seperti Tarakan, Balikpapan, dan Palembang.

    Jepang mulai mendaratkan pasukan di Indonesia pada 1 Maret 1942. Jenderal Imamura memimpin pendaratan di tiga tempat, yaitu Banten, Indramayu, dan Bojonegoro. Pendaratan ini tidak diduga oleh Belanda yang saat itu tengah berkuasa di Indonesia. Tentara Belanda tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti terhadap pasukan gerak cepat Jepang. Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada pihak Jepang. Penyerahan tanpa syarat pihak Belanda ke Jepang dilaksanakan di Kalijati, Subang. Pihak Belanda diwakili Panglima Tentara Belanda, Jenderal Ter Poorten, sedangkan Jepang diwakili Jenderal Imamura. Sejak saat itu, berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia.

        Penandatanganan penyerahan Belanda kepada Jepang diwakili Panglima Tentara Belanda Ter Poorten, padahal seharusnya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Tjarda  van Starkenborgh Stachouwer. Tindakan ini merupakan strategi Belanda, agar suatu saat jika Jepang dikalahkan pihak Sekutu, Belanda berhak kembali menguasai Indonesia. Dalihnya, penyerahan Belanda merupakan penyerahan pihak militer Belanda, bukan pemerintahan Belanda.

            Sehingga, Jepang kemudian membagi wilayah Indonesia ke dalam 3 pendudukan pemerintahan militer, yaitu :
a. Wilayah 1 = Pulau Jawa dan Madura yang diperintah oleh Tentara Keenambelas, Angkatan darat                         (Rikugun), berpusat di Batavia
b. Wilayah 2 = Pulau Sumatera yang diperintah oleh Tentara Keduapuluhlima Rikugun, berpusat di Bukit               tinggi
c. Wilayah 3 = Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara yang diperintah oleh                       Armada Selatan Kedua Angkatan Laut (Kaigun), berpusat di Makassar.

          Wilayah kekuasaan Jepang di Indonesia berada di bawah pengawasan langsung seorang kepala staf tentara yang disebut gunseikan yang dijabat oleh Jenderal Seizaburo Okasaki. Sementara itu, pemerintahan pada tiap - tiap wilayah dipimpin oleh seorang kooti dengan kepalanya yang disebut koo. Contohnya adalah Hamengkubowono-koo yang mengepalai Yogya-kooti.

           Di awal kedatangannya, Jepang memprogandakan diri sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia. Bersama - sama dengan negara - negara di Asia Pasifik, Jepang menyatakan ingin menciptakan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus mendukung upaya pengusiran negara - negara barat di Asia Pasifik dan membantu bangsa Jepang untuk untuk memenangkan perang melawan pihak Sekutu dalam PD 2. Akan tetapi, pernyataan - pernyataan yang disampaikan Jepang hanya omongan belaka. Jepang malah menanamkan penjajahan yang lebih keji daripada Belanda.

         Dapat disimpulkan bahwa, tujuan kedatangan Jepang ke Indonesia adalah untuk mengambil kekayaan alam Indonesia dan bahan bakar untuk mendukung industri Jepang, Indonesia dijadikan sebagai tempat pemasaran hasil industri Jepang yang dikarenakan jumlah penduduknya banyak, dan sebagai penyedia tenaga kerja yang dikarenakan jumlah penduduknya banyak.

Organisasi Militer dan Semimiliter Bentukan Jepang

         Jepang menjadikan Indonesia sebagai daerah pertahanan dalam perang melawan Sekutu. Oleh karena itu, Jepang memberdayakan para pemuda setempat sebagai tenaga pertahanannya. Jepang pun mulai memanfaatkan para pemuda Indonesia dengan membentuk beberapa organisasi militer dan semimiliter:
a. Militer
1. Heiho (barisan pembantu prajurit Jepang) : Dibentuk pada bulan April 1943. Anggota Heiho bertugas di medan perang. Oleh karena itu, Heiho dilatih untuk menguasai penggunaan pesawat terbang, tank, artileri medan, persenjataan, dan mengemudi. Anggota Heiho adalah para pemuda yang berusia 18-25 tahun.
2. Pembela Tanah Air (Peta) : Dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943. Latar belakang pembentukan Peta cukup unik. Kumakici Harada meminta agar pembentukan Peta dikesankan bukan inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia. Pemerintah Jepang akhirnya meminta Gatot Mangku Pradja (seorang nasionalis yang bersimpati terhadap Jepang) untuk menulis permohonan pembentukan Peta kepada Gunseikan. Surat permohonan dikirim pada tanggal 7 September 1943 dan permohonan itu dikabulkan dengan dikeluarkan peraturan yang disebut Osamu Seirei Nomor 44, tanggal 3 Oktober 1943. Pembentukan Peta dimaksudkan sebagai kekuatan terakhir yang mampu membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
b. Semimiliter
1. Seinendan (barisan pemuda) : Dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Anggota terdiri atas pemuda berusia 14-22 tahun. Seinendan hanya ada di tingkat kecamatan. Anggota Seinendan dilatih militer untuk mempertahankan diri ataupun melakukan penyerangan.
2. Keibodan (barisan pembantu polisi) : Dibentuk pada tanggal 29 April 1943. Organisasi ini terdiri atas para pemuda berusia 23-25 tahun. Tugas Keibodan adalah membantu polisi yang antara lain bertugas menjaga lalu lintas, pengamanan desa, dan sebagai mata-mata. Keibodan hanya dikembangkan di tingkat desa.
3. Fujinkai (barisan wanita) : Dibentuk pada bulan Agustus 1943 dan terdiri atas wanita berumur minimal 15 tahun. Tugas Fujinkai adalah ikut memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib berupa perhiasan, hewan ternak, dan bahan makanan untuk kepentingan perang.
4. Shuisintai (barisan pelopor) : Dibentuk pada tanggal 1 November 1944. Dasar pembentukan Suishintai adalah mempersatukan seluruh penduduk untuk bersama-sama menggiatkan usaha dalam kemenangan akhir. Shuisintai merupakan wadah pemuda pertama yang pemimpinannya berasal dari golongan nasionalis Indonesia, salah satunya Soekarno (ketua).


Perlawanan terhadap Jepang  



1. Strategi Kooperatif 
      adalah suatu strategi perlawanan yang dilakukan dengan cara bekerja sama dengan Jepang atau terlibat secara langsung dan aktif dalam organisasi-organisasi Jepang. Dengan demikian, para pemuda Indonesia mendapat pelajaran militer dari organisasi-organisasi tersebut. Mereka tidak menentang secara frontal pemerintah bala tentara Jepang. Gerakan-gerakan yang bersifat kooperatif terhadap pendudukan bala tentara Jepang sebagai berikut:
a. Gerakan 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia)
merupakan gerakan resmi yang didukung oleh pemerintah. Gerakan 3A dibentuk pada bulan Maret 1942, yang bertujuan menghimpun potensi bangsa demi kehormatan bersama.
        Melalui gerakan 3A, pemerintah Jepang menjelaskan bahwa jika perang melawan sekutu dimenangkan, bangsa-bangsa di Asia akan dibebaskan dari penjajahan bangsa barat. Jepang juga berkeinginan menciptakan kemakmuran bersama di antara bangsa-bangsa Asia. Dengan propaganda itu, rakyat diharapkan akan bersemangat membela Jepang. Akan tetapi, gerakan 3A tidak mendapat sambutan dari rakyat Indonesia karena organisasi ini dipimpin oleh orang yang kurang dikenal rakyat. Akhirnya gerakan 3A  dibubarkan pada bulan Desember 1942.
b. Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
pada 9 Maret 1942, Jepang mulai menyusun strategi baru yang berkaitan dengan pendudukannya di Indonesia. Pemerintah militer Jepang memberlakukan UU yang melarang kegiatan politik yang tidak mendukung kebijakan pemerintah Jepang di Indonesia. Beberapa organisasi di Indonesia yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda dibubarkan. Sebagai gantinya, pada 16 April 1943, Jepang membentuk organisasi Putera.
       Para tokoh terkemuka dalam putera dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Mereka itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara. Tujuan organisasi ini bagi pemimpin-pemimpin Indonesia adalah untuk membangun dan menghidupkan kembali segala apa yang telah dirobohkan atau dihancurkan oleh imperialisme Belanda. Sementara, bagi pemimpin-pemimpin Jepang adalah untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia, untuk membantu usaha PD 2, dan untuk memusatkan usaha Indonesia. Putera akhirnya dimanfaatkan untuk membela rakyat dari kekejaman Jepang serta untuk menggembleng mental dan semangat nasionalisme, cinta tanah air, antikolonialisme, dan imperialisme.
c. MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia)
organisasi yang dibentuk lebih berkaitan dengan agama. Organisasi yang mendapat izin pemerintah Jepang tersebut adalah MIAI. Kebijakan ini merupakan upaya pendekatan Jepang terhadap golongan nasionalis Islam agar umat Islam tidak melakukan kegiatan-kegiatan politik. Organisasi ini lebih banyak beraktivitas dalam kegiatan keagamaan, seperti membangun masjid, dan pengumpulan zakat.
         Dalam perjalanannya, MIAI ternyata dapat berkembang menjadi organisasi besar yang mendapat simpati dari seluruh umat Islam Indonesia. Melihat perkembangan seperti itu, timbulah kecemasan pemerintah Jepang terhadap MIAI sehingga kegiatannya pun mulai diawasi. Menjelang akhir tahun 1943, MIAI resmi dibubarkan Jepang.
d. Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
merupakan perkumpulan yang dibentuk oleh Jepang pada 1 Maret 1944 sebagai pengganti Putera. Pemimpin tertinggi perkumpulan ini adalah Gunseikan dan Soekarno menjadi penasihat utamanya.
         Jawa Hokokai dibentuk sebagai organisasi pusat yang merupakan kumpulan dari hokokai atau jenis pekerjaan (profesi), antara lain Izi Hokokai (Himpunan Kebaktian Dokter), Kyoiku Hokokai (Himpunan Kebaktian Pendidik), Fujinkai (Organisasi Wanita), dan Keimin Bunko Syidosyo (Pusat Budaya). Perkumpulan ini adalah pelaksana pengerahan atau mobilisasi (penggerakan) barang yang berguna untuk kepentingan perang.
e. Cuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat)
dibentuk pada 3 September 1943. Badan ini diketuai Ir. Soekarno dan 2 orang wakil ketua, yaitu R.M.A.A. Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmodjo. Cuo Sangi In memiliki tugas memajukan setiap usaha pemerintah Jepang untuk memenangkan perang dan mengajukan usul serta menjawab pertanyaan pemerintah Jepang. Pada awalnya, badan ini didirikan dengan maksud sebagai pengendali politik Jepang di Indonesia. Akan tetapi, Cuo Sangi In justru dimanfaatkan oleh para pemimpin pergerakan untuk mengimbangi politik Jepang.
f. BPUPKI
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai dilafalkan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Dokuritsu Junbi Chōsakai jp :独立準備調査会) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.

Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek poplitik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI.
g. PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, sebelum panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (独立準備委員会, Dokuritsu Junbi Iinkai atau Komite Persiapan Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Badan ini merupakan badan yang dibentuk sebelum MPR dibentuk.

2. Strategi Nonkooperatif
   adalah suatu strategi perlawanan yang dilakukan secara ilegal oleh para pejuang dalam menghadapi kekejaman Jepang.
a. Strategi Gerakan Bawah Tanah
  merupakan suatu strategi yang dilakukan para pejuang nasionalis dengan cara mengambil jalan melakukan gerakan di bawah tanah. Mereka diam-diam menghimpun kekuatan rakyat serta menanamkan semangat persatuan dan kesatuan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa kelompok pergerakan nasional yang menjalankan strategi gerakan bawah tanah, yaitu:
~ Kelompok Sutan Syahrir = kelompok pemuda di bawah pimpinan Sutan Syahrir. Mereka antara lain menyebar di Jakarta, Cirebon, Garut, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Kelompok ini sangat antifasisme Jepang.
~ Kelompok Kaigun = perhimpunan para pemuda Indonesia yang mempunyai hubungan erat dengan kepala perwakilan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang di Jakarta, yaitu Laksamana Maeda.
~ Kelompok Sukarni = kumpulan para pemuda anti-Jepang di bawah pimpinan Sukarni. Mereka tinggal di Asrama Angkatan Baru di Jalan Menteng 31, Jakarta.
~ Kelompok Persatuan Mahasiswa = terdiri atas mahasiswa kedokteran (Ikadaigaku), bermarkas di Jalan Prapatan No.10, Jakarta.
~ Kelompok Amir Syarifuddin = kumpulan pemuda berpaham sosialis yang selalu menentang kebijakan pemerintahan Jepang.

3. Perlawanan Bersenjata

Peristiwa Cot Plieng, Aceh 10 November 1942

Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot Plieng, Lhokseumawe. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang salat.

Peristiwa Singaparna

Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para santrinya yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang, yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.

Peristiwa Indramayu, April 1944

Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha yang telah mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang, Kabupaten Indramayu.
Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahi kekejaman yang dilakukan pada setiap pemberontakan.

Pemberontakan Teuku Hamid

Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton pasukannya melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan ancaman akan membunuh para keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan pemberontak menyerah, sehingga akhirnya dapat ditumpas.
Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.

Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945)

Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.

Perlawanan PETA di Meureudu-Pidie, Aceh (November 1944)

Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya.

Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945)

Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu (Bundanco), Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Kusaeri divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.

Perlawanan Pang Suma

Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Selatan. Pang Suma adalah pemimpin suku Dayak yang besar pengaruhnya di kalangan suku-suku di daerah Tayan dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu di antara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.

Perlawanan Koreri di Biakdi Irian Barat tahun 1943

Perlawanan ini dipimpin oleh L. Rumkorem, pimpinan Gerakan Koreri yang berpusat di Biak. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai budak belian, dipukuli, dan dianiaya. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban, tetapi rakyat melawan dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau Biak.

Perlawanan di Pulau Yapen Selatan

Perlawanan ini dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi bantuan senjata kepada pejuang sehingga perlawanan semakin seru. Nimrod dihukum pancung oleh Jepang untuk menakut-nakuti rakyat. Tetapi rakyat tidak takut dan muncullah seorang pemimpin gerilya yakni S. Papare.

Perlawanan di Tanah Besar Papua

Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan modal senjata dari Sekutu.



Pengaruh Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang




1. Bidang Politik
    Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (pemerintah militer Jepang) adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal 20 Maret 1942, dikeluarkan peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan. Pada tanggal 8 September 1942 dikeluarkan UU no. 2 Jepang mengendalikan seluruh organisasi nasional. Sebelum membentuk organisasi, Jepang masih menghendaki lagu indonesia raya dinyanyikan, bendera Indonesia berkibar, tetapi harus di samping bendera Jepang, dan bahasa Indonesia digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Jepang tidak menghendaki penggunaan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Jepang tidak menghendaki penggunaan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari.

          Selain itu, Jepang pun melakukan propaganda untuk menarik simpati bangsa Indonesia dengan cara:
Menganggap Jepang sebagai saudara tua bangsa Asia (Hakko Ichiu)
Melancarkan semboyan 3A (Jepang pemimpin, Jepang cahaya dan Jepang pelindung Asia)
Melancarkan simpati lewat pendidikan berbentuk beasiswa pelajar.
Menarik simpati umat Islam untuk pergi Haji
Menarik simpati organisasi Islam MIAI.
Melancarkan politik dumping
Mengajak untuk bergabung tokoh-tokoh perjuangan Nasional seperti: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta serta Sutan Syahrir, dengan cara membebaskan tokoh tersebut dari penahanan Belanda.

Selain propaganda, Jepang juga melakukan berbagai tindakan nyata berupa pembentukan badan-badan kerjasama seperti berikut:
a. Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tujuan membujuk kaum Nasionalis sekuler dan intelektual agar menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk mengabdi kepada Jepang.
b. Jawa Hokokai (Himpunan kebaktian Jawa) merupakan organisasi sentral dan terdiri dari berbagai macam profesi (dokter, pendidik, kebaktian wanita pusat dan perusahaan).

        Penerapan sistem Autarki (daerah yang harus memenuhi kebutuhan sendiri dan kebutuhan perang). Sistem ini diterapkan di setiap wilayah ekonomi. Contohnya, Jawa menjadi 17 daerah, Sumatera 3 daerah, dan Meinsefu (daerah yang diperintah Angkatan Laut) 3 daerah. Setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di Kalijati maka seluruh daerah Hindia Belanda menjadi 3 daerah pemerintahan militer:
Daerah bagian tengan meliputi Jawa dan Madura dikuasai oleh tentara keenambelas dengan kantor pusat di Batavia (Jakarta).
Daerah bagian Barat meliputi Sumatera dengan kantor pusat di Bukittinggi dikuasai oleh tentara keduapuluhlima.
Daerah bagian Timur meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusantara, Maluku dan Irian Jaya dibawah kekuasaan armada selatan kedua dengan pusatnya di Makassar.

         Selain kebijakan politik di atas, pemerintah Militer Jepang juga melakukan perubahan dalam birokrasi pemerintahan, diantaranya adalah pembentukan organisasi pemerintahan di tingkat pusat dengan membentuk Departemen dan pembentukan Cou Sang In. Untuk mempermudah pengawasan dibentuk tiga pemerintahan militer yakni:
a. Pembentukan Angkatan Darat/Gunseibu, membawahi Jawa dan Madura dengan Batavia sebagai pusat dan dikenal dengan tentara ke enam belas dipimpin oleh Hitoshi Imamura.
b. Pembentukan Angkatan Darat/Rikugun, yang membawahi Sumatera dengan pusat Bukit Tinggi (Sumatera Barat) yang dikenal dengan tentara ke dua puluh lima dipimpin oleh Jendral Tanabe.
c. Pembentukan Angkatan Laut/Kaigun, yang membawahi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian dengan pusatnya Ujung Pandang (Makasar) yang dikenal dengan Armada Selatan ke dua dengan nama Minseifu dipimpin Laksamana Maeda.

Untuk kedudukan pemerintahan militer sementara khusus Asia Tenggara berpusat di Dalat/Vietnam.


2. Bidang Ekonomi dan Sosial
   Pada kedua aspek ini, Anda akan menemukan bagaimana praktek eksploitasi ekonomi dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa Indonesia dan Anda bisa membandingkan dampak ekonomi dan sosial dengan dampak politis dan birokrasi. Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Jepang juga membangun sebuah pabrik senjata. Sehingga, dengan kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.
b. Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang. Monopoli tebu dan gula, pemaksaan menanam pohon jarak dan kapas pada lahan pertanian dan perkebunan merusak tanah.
c. Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.

        Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan 40% menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah melanda hampir di setiap desa di pulau Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka kematian 53,7% dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7%. Bisa Anda bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia pada masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti keladi gatal, bekicot, umbi-umbian). Sehingga, muncullah golongan gembel atau stratifikasi sosial dengan urutan pertama, yaitu Jepang, dan golongan terakhir adalah pribumi.

3. Bidang Militer
   Memasuki tahun kedua pendudukannya (1943), Jepang semakin intensif mendidik dan melatih pemuda-pemuda Indonesia di bidang militer. Hal ini disebabkan karena situasi di medan pertempuran (Asia – Pasifik) semakin menyulitkan Jepang. Mulai dari pukulan Sekutu pada pertempuran laut di Midway (Juni 1942) dan sekitar Laut Karang (Agustus ’42 – Februari 1943). Kondisi tersebut diperparah dengan jatuhnya Guadalacanal yang merupakan basis kekuatan Jepang di Pasifik (Agustus 1943).

          Situasi di atas membuat Jepang melakukan konsolidasi kekuatan dengan menghimpun kekuatan dari kalangan pemuda dan pelajar Indonesia sebagai tenaga potensial yang akan diikutsertakan dalam pertempuran menghadapi Sekutu.

Dampak Positif dan Negatif


         Masa Pendudukan Jepang di Indonesia adalah masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan Indonesia, selain itu hampir tidak adanya tantangan yang berarti kepada Belanda sebelumnya. Dalam masanya yang singkat itu, Jepang membawa dampak yang positif dan juga membawa dampak yang negatif bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Pada umumnya kebanyakan beranggapan masa pendudukan Jepang adalah masa-masa yang kelam dan penuh penderitaan. Akan tetapi tidak semuanya itu benar, ada beberapa kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang memberikan dampak positif, terutama dalam pembentukan nasionalisme Indonesia dan pelatihan militer bagi pemuda Indonesia.


Dampak Positif :
a. Diperbolehkannya bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa komunikasi nasional dan menyebabkan bahasa Indonesia mengukuhkan diri sebagai bahasa nasional.
b. Jepang mendukung semangat anti-Belanda, sehingga mau tak mau ikut mendukung semangat nasionalisme Indonesia. Antara lain menolak pengaruh-pengaruh Belanda, misalnya perubahan nama Batavia menjadi Jakarta.
c. Untuk mendapatkan dukungan rakyat Indonesia, Jepang mendekati pemimpin nasional Indonesia seperti Sukarno dengan harapan agar Sukarno mau membantu Jepang memobilisasi rakyat Indonesia. Pengakuan Jepang ini mengukuhkan posisi para pemimpin nasional Indonesia dan memberikan mereka kesempatan memimpin rakyatnya.
d. Dalam bidang ekonomi didirikannya kumyai yaitu koperasi yang bertujuan untuk kepentingan bersama.
e. Mendirikan sekolah-sekolah seperti SD 6 tahun, SMP 9 tahun, dan SLTA
f.  Pembentukan strata masyarakat hingga tingkat paling bawah yaitu rukun tetangga (RT) atau Tonarigumi
g. Diperkenalkan suatu sistem baru bagi pertanian yaitu line system (sistem pengaturan bercocok tanam secara efisien) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan.
h. Dibentuknya BPUPKI dan PPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Dari sini muncullah ide Pancasila.
i. Jepang dengan terprogram melatih dan mempersenjatai pemuda-pemuda Indonesia demi kepentingan Jepang pada awalnya. Namun oleh pemuda hal ini dijadikan modal untuk berperang yang dikemudian hari digunakan untuk menghadapi kembalinya pemerintah kolonial Belanda.
j. Dalam pendidikan dikenalkannya sistem Nipon-sentris dan diperkenalkannya kegiatan upacara dalam sekolah.

Dampak Negatif :
a. Penghapusan semua organisasi politik dan pranata sosial warisan Hindia Belanda yang sebenarnya banyak diantaranya yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan warga.
b. Romusha, mobilisasi rakyat Indonesia (terutama warga Jawa) untuk kerja paksa dalam kondisi yang tidak manusiawi.
c. Penghimpunan segala sumber daya seperti sandang, pangan, logam, dan minyak demi kepentingan perang. Akibatnya beras dan berbagai bahan pangan petani dirampas Jepang sehingga banyak rakyat yang menderita kelaparan.
d. Krisis ekonomi yang sangat parah. Hal ini karena dicetaknnya uang pendudukan secara besar-besaran sehingga menyebabkan terjadinya inflasi.
e. Kebijakan self sufficiency (kawasan mandiri) yang menyebabkan terputusnya hubungan ekonomi antar daerah.
f. Kebijakan fasis pemerintah militer Jepang yang menyebar polisi khusus dan intelijen di kalangan rakyat sehingga menimbulkan ketakutan. Pemerintah Jepang bebas melanggar hak asasi manusia dengan menginterogasi, menangkap, bahkan menghukum mati siapa saja yang dicurigai atau dituduh sebagai mata-mata atau anti-Jepang tanpa proses pegadilan.
g. Pembatasan pers sehingga tidak ada pers yang independen, semuanya dibawah pengawasan Jepang.
h.Terjadinya kekacauan situasi dan kondisi keamanan yang parah seperti maraknya perampokan,  pemerkosaan dan lain-lain.
i. Pelarangan terhadap buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris yang menyebabkan pendidikan yang lebih tinggi terasa mustahil.
j. Banyak guru-guru yang dipekerjakan sebagai pejabat-pejabat pada masa itu yang menyebabkan kemunduran standar pendidikan secara tajam.
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar